Minggu, 15 Desember 2013

PANGERAN BUMIDIRJO - VERSI PENASEHAT SPIRITUAL MATARAM



       Pangeran Bumidirjo lahir di Kotagede pada tahun 1609 ,dan wafat tahun 1688 dimakamkan di Desa Karangrejo berbatasan dengan Desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten Kebumen, yang kelak dikemudian hari menjadi dasar sejarah lahirnya kota Kebumen.   
Pangeran Bumidirjo  adalah seorang bangsawan juga sebagai ulama dari Kerajaan Mataram Islam  yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai Pangeran Bumidirjo karena semasa hidupnya  dikenal sebagai bangsawan yang sangat berjasa dalam hal pengembangan syiar Islam di bumi Mataram.   

Awalnya beliau ditugaskan untuk menjabat sebagai Dewan penasehat  Kerajaan 
(Parampara ) khususnya dalam bidang keagamaan  pada masa tahta Kerajaan Mataram masih dijabat oleh kakaknya lain ibu yaitu Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo  ( Tahun 1613 – 1645),
Pada sa’at itu Kyai Pangeran Bumidirjo senantiasa mengingatkan Rajanya agar menjunjung tinggi nilai nilai Kemanusiaan , keadilan dan kebenaran,  Beliau senantiasa memegang teguh prinsip bahwasanya seorang Raja harus berlaku adil dan bijaksana serta mengutamakan mensejahterakan rakyatnya. Beliau juga sangat peduli  terhadap nasib  fakir miskin dan selalu membela kepentingan kaum yang lemah apalagi tertindas selain dari pada itu juga sangat dekat dengan kaum santri dan Para Ulama.
              Namun ketika  Kanjeng  Sultan Agung mangkat dan digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Raden Mas Sayidin naik tahta dan bergelar Kanjeng  Sunan Amangkurat Agung  ( Kanjeng Sunan Amangkurat  I ) yang berkuasa Tahun 1645 – 1677, ternyata Penguasa yang baru lebih bersifat kurang simpatik dengan ajaran Islam hal ini dapat dimaklumi karena hubungannya yang sangat akrab dengan pihak VOC Belanda ,dengan sendirinya akan mempengaruhi pandangan hidup dan kebijaksanaan politiknya, selain daripada itu Kanjeng  Sunan Amangkurat I yang pada sa’at itu memegang tampuk kekuasaan yang sangat besar  warisan dari ayahandanya nyata-nyata menunjukan sifat-sifat yang kurang terpuji , dan  sepertinya sudah tidak merasa membutuhkan lagi nasehat-nasehat beliau. Malah sering kali berselisih paham, Sehubungan  Kanjeng Sunan  Amangkurat I dalam menjalankan Pemerintahannya bertindak secara tirani dan lebih mementingkan kepentingan pribadi dan golonganganya dari pada mensejahterakan rakyatnya serta sering kali menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dan dianggap sebagai lawan dari pada politiknya serta  telah nyata-nyata melanggar norma-norma kemanusiaan ,keadilan dan kebenaran berlaku kejam dan sewenang wenang,
                   Hingga pada suatu hari  Pangeran Bumidirjo hilang kesabarannya setelah menerima suatu permasalahan yang menjadikan hatinya sedih dan prihatin  yaitu setelah mengetahui adanya suatu perkara hukum, berupa hukuman qishos yang akan dijatuhkan kepada mertuanya sendiri yaitu Pangeran Pekik dan keluarganya, maka dengan segera beliau memberanikan diri untuk mengingatkan  dengan memberikan nasehat kepada keponakanya tersebut untuk tidak menjatuh kan hukuman qishos ( penggal kepala )  kepada Pangeran Pekik ( Tahun 1659 ) karena dianggapnya hukuman terebut tidak adil dan sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya, mengingat Pangeran  Pekik tersebut telah berjasa besar pada saat Kerajaan diperintah  oleh  Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo  yaitu berjasa dalam merebut kembali daerah  Surabaya kepangkuan Mataram dan memadamkan Pemberontakan Sunan Giri.
Akan tetapi Kanjeng  Sunan  Amangkurat I tidak menghiraukan peringatan  dan nasehat tersebut dan malah sebaliknya  menganggap bahwa Pangeran Bumidirjo telah ikut campur terlalu jauh dalam urusan pribadinya  dan bermaksud menggagalkan keinginan Kanjeng Sunan untuk menjatuhkan hukuman qishos terhadap Pangeran Pekik dan keluarganya tersebut  yang dianggap sudah menjadi keputusan yang syah.  
Selanjutnya Kanjeng Sunan Amangkurat  I  malah mempunyai prasangka yang buruk  dan murka,  kemudian mempunyai rencana jahat untuk menghancurkan kehidupan Pangeran Bumidirjo dan keluarganya dan mohon bantuan berupa sumbang saran pemikiran dan pendapat kepada orang-orang yang dekat dengan kursi Pemerintahannya termasuk orang-orang VOC Belanda.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan Para penasehat Keraton yang berhati dengki dan mempunyai dendam pribadi  terhadap Pangeran Bumidirjo kemudian  menghasudnya dan menyarankan Kanjeng Sunan untuk  mengatur siasat dan membuat reka perdaya agar Pangeran Bumidirjo masuk kedalam suatu perangkap  fitnah, sehingga dapat dijatuhi  hukuman mati, yang semestinya tidak diterimanya  seperti yang dialami oleh Pangeran Pekik pada Tahun 1659 maupun Pangeran Selarong  I ( Raden Mas Wuryah / Adipati Martopuro) pada Tahun 1669, juga Para Ulama maupun Para Santri yang dianggapnya telah bersebrangan paham maupun sebagai lawan politiknya.
Namun sebelum niat jahat Sunan Amangkurat I terlaksana, rencana tersebut telah diketahui oleh Pangeran Bumidirjo  yang sebenarnya tidak lain sebagai pamannya sendiri tersebut, setelah melihat situasi dan kondisi yang kelihatannya sudah tidak aman.
Atas dasar pertimbangan untuk keselamatan diri dan keluarganya  maka Pada waktu yang telah ditentukan Pangeran Bumidirjo memutuskan untuk menanggalkan semua pangkat kerajaannya dan pakaian kebesarannya sebagai  keluarga besar Keraton Mataram, pada sa’at itu Keraton Mataram berkedudukan di Plered.
Secara diam-diam Pangeran Bumidirjo beserta keluarga dan Para pengikutnya keluar dari keraton pada malam hari dan pergi mengungsi  ke arah barat untuk mengasingkan diri hingga sampai disuatu daerah yang pada sa’at itu termasuk  dalam wilayah Kademangan Panjer Pada Tahun 1670 M. 
Inilah awal keberadaan Pangeran Bumidirja menetap dan menorehkan sejarah panjang Di wilayah Kebumen.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar