Pangeran Bumidirjo
lahir di Kotagede pada tahun 1609 ,dan wafat tahun 1688 dimakamkan di Desa
Karangrejo berbatasan dengan Desa Lundong, Kecamatan Kutowinangun, Kabupaten
Kebumen, yang kelak dikemudian hari menjadi dasar sejarah lahirnya kota
Kebumen.
Pangeran Bumidirjo adalah seorang bangsawan juga sebagai ulama
dari Kerajaan Mataram Islam yang lebih
dikenal dengan sebutan Kyai Pangeran Bumidirjo karena semasa hidupnya dikenal sebagai bangsawan yang sangat berjasa
dalam hal pengembangan syiar Islam di bumi Mataram.
Awalnya beliau ditugaskan untuk
menjabat sebagai Dewan penasehat
Kerajaan
(Parampara ) khususnya dalam bidang keagamaan pada masa tahta Kerajaan Mataram masih
dijabat oleh kakaknya lain ibu yaitu Kanjeng Sultan Agung Hanyokrokusumo ( Tahun 1613 – 1645),
Pada sa’at itu Kyai Pangeran
Bumidirjo senantiasa mengingatkan Rajanya agar menjunjung tinggi nilai nilai
Kemanusiaan , keadilan dan kebenaran,
Beliau senantiasa memegang teguh prinsip bahwasanya seorang Raja harus
berlaku adil dan bijaksana serta mengutamakan mensejahterakan rakyatnya. Beliau
juga sangat peduli terhadap nasib fakir miskin dan selalu membela kepentingan
kaum yang lemah apalagi tertindas selain dari pada itu juga sangat dekat dengan
kaum santri dan Para Ulama.
Namun ketika Kanjeng
Sultan Agung mangkat dan digantikan oleh putra mahkotanya yaitu Raden
Mas Sayidin naik tahta dan bergelar Kanjeng
Sunan Amangkurat Agung ( Kanjeng
Sunan Amangkurat I ) yang berkuasa Tahun
1645 – 1677, ternyata Penguasa yang
baru lebih bersifat kurang simpatik dengan ajaran Islam hal ini dapat dimaklumi
karena hubungannya yang sangat akrab dengan pihak VOC Belanda ,dengan
sendirinya akan mempengaruhi pandangan hidup dan kebijaksanaan politiknya,
selain daripada itu Kanjeng Sunan
Amangkurat I yang pada sa’at itu memegang tampuk kekuasaan yang sangat
besar warisan dari ayahandanya
nyata-nyata menunjukan sifat-sifat yang kurang terpuji , dan sepertinya sudah tidak merasa membutuhkan
lagi nasehat-nasehat beliau. Malah sering kali berselisih paham,
Sehubungan Kanjeng Sunan Amangkurat I dalam menjalankan
Pemerintahannya bertindak secara tirani dan lebih mementingkan kepentingan
pribadi dan golonganganya dari pada mensejahterakan rakyatnya serta sering kali
menyingkirkan orang-orang yang tidak sepaham dan dianggap sebagai lawan dari
pada politiknya serta telah nyata-nyata
melanggar norma-norma kemanusiaan ,keadilan dan kebenaran berlaku kejam dan
sewenang wenang,
Hingga pada suatu hari Pangeran Bumidirjo hilang kesabarannya
setelah menerima suatu permasalahan yang menjadikan hatinya sedih dan
prihatin yaitu setelah mengetahui adanya
suatu perkara hukum, berupa hukuman qishos yang akan dijatuhkan kepada
mertuanya sendiri yaitu Pangeran Pekik dan keluarganya, maka dengan segera
beliau memberanikan diri untuk mengingatkan
dengan memberikan nasehat kepada keponakanya tersebut untuk tidak
menjatuh kan hukuman qishos ( penggal kepala )
kepada Pangeran Pekik ( Tahun 1659 ) karena dianggapnya hukuman terebut
tidak adil dan sepadan dengan kesalahan yang dilakukannya, mengingat
Pangeran Pekik tersebut telah berjasa
besar pada saat Kerajaan diperintah
oleh Kanjeng Sultan Agung
Hanyokrokusumo yaitu berjasa dalam
merebut kembali daerah Surabaya
kepangkuan Mataram dan memadamkan Pemberontakan Sunan Giri.
Akan tetapi
Kanjeng Sunan Amangkurat I tidak menghiraukan
peringatan dan nasehat tersebut dan
malah sebaliknya menganggap bahwa
Pangeran Bumidirjo telah ikut campur terlalu jauh dalam urusan pribadinya dan bermaksud menggagalkan keinginan Kanjeng
Sunan untuk menjatuhkan hukuman qishos terhadap Pangeran Pekik dan keluarganya
tersebut yang dianggap sudah menjadi
keputusan yang syah.
Selanjutnya Kanjeng
Sunan Amangkurat I malah mempunyai
prasangka yang buruk dan murka, kemudian mempunyai rencana jahat untuk
menghancurkan kehidupan Pangeran Bumidirjo dan keluarganya dan mohon bantuan
berupa sumbang saran pemikiran dan pendapat kepada orang-orang yang dekat
dengan kursi Pemerintahannya termasuk orang-orang VOC Belanda.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan Para penasehat Keraton yang berhati dengki dan
mempunyai dendam pribadi terhadap
Pangeran Bumidirjo kemudian menghasudnya
dan menyarankan Kanjeng Sunan untuk
mengatur siasat dan membuat reka perdaya agar Pangeran Bumidirjo masuk
kedalam suatu perangkap fitnah, sehingga
dapat dijatuhi hukuman mati, yang
semestinya tidak diterimanya seperti
yang dialami oleh Pangeran Pekik pada Tahun 1659 maupun Pangeran Selarong I ( Raden Mas Wuryah / Adipati Martopuro)
pada Tahun 1669, juga Para Ulama maupun Para Santri yang dianggapnya telah
bersebrangan paham maupun sebagai lawan politiknya.
Namun sebelum niat jahat Sunan Amangkurat I
terlaksana, rencana tersebut telah diketahui oleh Pangeran Bumidirjo yang sebenarnya tidak lain sebagai pamannya
sendiri tersebut, setelah melihat situasi dan kondisi yang kelihatannya sudah
tidak aman.
Atas dasar pertimbangan untuk keselamatan diri dan keluarganya maka Pada waktu yang telah ditentukan
Pangeran Bumidirjo memutuskan untuk menanggalkan semua pangkat kerajaannya dan
pakaian kebesarannya sebagai keluarga
besar Keraton Mataram, pada sa’at itu Keraton Mataram berkedudukan di Plered.
Secara diam-diam Pangeran Bumidirjo beserta keluarga dan Para
pengikutnya keluar dari keraton pada malam hari dan pergi mengungsi ke arah barat untuk mengasingkan diri hingga
sampai disuatu daerah yang pada sa’at itu termasuk dalam wilayah Kademangan Panjer Pada Tahun
1670 M.
Inilah awal keberadaan Pangeran Bumidirja menetap dan menorehkan sejarah panjang Di wilayah Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar